Kala Hujan Berubah Wujud

Kali ini hujan tak turun ke bumi Allah, tapi ke hatiku yang lemah.
Turun perlahan hingga aku sempat tak menyadari kedatangannya, tetes demi tetes dengan begitu anggun menyelundup, lalu semakin deras, sampai akhirnya basah. Hatiku basah.
Dan aku masih di sini, memeluk lutut di pojok ruang pengap di bawah temaram bohlam, tapi agaknya, ruang ini belum sepengap perasaanku.

Aku lalu bertanya-tanya, bagaimana bisa airmata jatuh tanpa aba-aba?
Dia terlalu berani menampakkan esensinya di sini, di hati. Lalu lebih berani lagi memperlihatkan eksistensinya, di sini, di pipi.
oh, Aku bahkan tak punya tissue untuk meniadakan hadirnya karena alasan yang sama, aku tak pernah tahu kapan dia akan datang.

Saat alirannya semakin deras, dan mata nanarku mulai pedih, aku merasa kedatangannya justru memperburuk, hatiku makin terpuruk, jiwaku makin ramuk, dan tanganku mengutuk, karena lelah menghapusnya.
Tapi dia sadar, dia tak boleh berlama-lama, jangan sampai persediaan airnya habis hanya untuk satu kisah ini, karena sepertinya, dia tahu bahwa akan ada banyak sekali kisah pahit di depan yang akan dia iringi. Maka mulailah pamit diri dari pipi, masih dengan perlahan, ia meninggalkanku sendiri. Tanpa teman untuk bercerita, tanpa bahu untuk bersandar, tanpa tangan untuk ku genggam. Sempurna sendiri!
Dan saat itulah, aku mulai merasa membutuhkannya, paling tidak untuk menghasilkan suara sedu sedan pemecah kesepian.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pohon Ranting Kering.

Semua yang Kupunya, Kamu.

Halaman Persembahanku