Cerpen Pertama dan Terakhir yang Usai~
Sudah tiga kali berturut-turut. Benar-benar aneh. Belum
pernah sebelumnya aku bermimpi dengan mimpi yang sama persis, baik tokoh,
latar, alur, hingga ke detil-detilnya.
Pagi ini aku bangun dengan wajah kebingungan, bertanya-tanya pada diri sendiri apa yang sebenarnya terjadi, apa yang salah dengan diriku, kenapa bisa sampai bermimpi tiga kali berturut-turut dengan mimpi yang sama persis? Ah, alhasil, seharian ini aku jadi uring-uringan di kampus, tidak banyak bicara, tidak mengikuti perkuliahan dengan serius, tidak makan dengan benar, seperti orang sakit yang tak menemukan obat. Rasanya sesak sekali memikirkan persoalan mimpi ini, aku harus cerita ke seseorang, ke Atika saja, sahabatku dari kecil dan tiga tahun di perantauan ini.
Pagi ini aku bangun dengan wajah kebingungan, bertanya-tanya pada diri sendiri apa yang sebenarnya terjadi, apa yang salah dengan diriku, kenapa bisa sampai bermimpi tiga kali berturut-turut dengan mimpi yang sama persis? Ah, alhasil, seharian ini aku jadi uring-uringan di kampus, tidak banyak bicara, tidak mengikuti perkuliahan dengan serius, tidak makan dengan benar, seperti orang sakit yang tak menemukan obat. Rasanya sesak sekali memikirkan persoalan mimpi ini, aku harus cerita ke seseorang, ke Atika saja, sahabatku dari kecil dan tiga tahun di perantauan ini.
Kutemui
Atika dengan wajah tidak sabar seperti menggenggam bara api panas yang harus
segera dilepas. Atika tahu mimik, perempuan cantik berhati lembut ini memang
pandai sekali membaca raut muka, bisa segera tahu apa yang terjadi sebelum
mendengar beritanya. Kutarik dia ke bangku taman di sudut kampus dekat pustaka,
tanpa menunggu aba-aba langsung kuceritakan semuanya, tentang mimpi dan
kegundahanku.
“Kamu pernah bertemu pemuda di mimpimu itu sebelumnya?” Tanya Atika kemudian setelah mendengar cerita panjang lebarku, dengan gaya khasnya yang selalu tenang. “Belum, justru itu aku semakin penasaran”, jawabku. Kami diam sejenak, “Boleh nggak ya kita percaya mimpi, Ka?”, Atika menatapku tersenyum, menggenggam tanganku halus, dia memang suka begitu kalau bicara serius, “Kalau yang aku tahu sih ya, mimpi itu terdiri dari tiga macam, satu, mimpi indah yang sebenarnya didatangkan oleh Allah untuk hiasan tidur dan penghibur. Kedua, mimpi buruk, mimpi yang datang dari syaithan untuk mengganggu. terakhir, mimpi yang seperti mimpimu itu, nggak jelas. Mimpi ini biasanya disebabkan oleh hal-hal yang suka kamu pikirkan, atau lamunan yang sering kamu bawa tidur. Intinya sih, yang namanya mimpi nggak bisa ditafsirkan sesuka hati, kita tahu bahwa tak ada yang bisa dengan pasti menafsirkan mimpi selain nabi Yusuf, jadi jika kamu bertanya-tanya mengenai mimpi ini apakah akan menjadi kenyataan atau tidak, aku harap kamu tidak kecewa jika aku beri saran untuk mencoba melupakan mimpi ini dan pemuda itu, karena sejauh yang aku pahami, kamu hanya terobsesi, dan lebih baik abaikan saja daripada bikin galau.” Penjelasan Atika barusan seperti dugaanku, sekali lagi dia tahu apa yang menjadi pertanyaan besarku, dan sebelum sempat bertanya ia sudah memberikan jawabannya. Karena masih mengganjal aku kembali bertanya, “Tapi kalau mimpi ini terus berlanjut hingga nanti malam dan besok-besoknya lagi, apa yang harus aku lakukan?” tanyaku panik. “Hmm, kita lihat nanti, mungkin memang ada yang tidak beres jika masih terulang hingga puluhan kali, OK kan, Hanum yang cantik?”. Aku diam, tak menjawab.
“Kamu pernah bertemu pemuda di mimpimu itu sebelumnya?” Tanya Atika kemudian setelah mendengar cerita panjang lebarku, dengan gaya khasnya yang selalu tenang. “Belum, justru itu aku semakin penasaran”, jawabku. Kami diam sejenak, “Boleh nggak ya kita percaya mimpi, Ka?”, Atika menatapku tersenyum, menggenggam tanganku halus, dia memang suka begitu kalau bicara serius, “Kalau yang aku tahu sih ya, mimpi itu terdiri dari tiga macam, satu, mimpi indah yang sebenarnya didatangkan oleh Allah untuk hiasan tidur dan penghibur. Kedua, mimpi buruk, mimpi yang datang dari syaithan untuk mengganggu. terakhir, mimpi yang seperti mimpimu itu, nggak jelas. Mimpi ini biasanya disebabkan oleh hal-hal yang suka kamu pikirkan, atau lamunan yang sering kamu bawa tidur. Intinya sih, yang namanya mimpi nggak bisa ditafsirkan sesuka hati, kita tahu bahwa tak ada yang bisa dengan pasti menafsirkan mimpi selain nabi Yusuf, jadi jika kamu bertanya-tanya mengenai mimpi ini apakah akan menjadi kenyataan atau tidak, aku harap kamu tidak kecewa jika aku beri saran untuk mencoba melupakan mimpi ini dan pemuda itu, karena sejauh yang aku pahami, kamu hanya terobsesi, dan lebih baik abaikan saja daripada bikin galau.” Penjelasan Atika barusan seperti dugaanku, sekali lagi dia tahu apa yang menjadi pertanyaan besarku, dan sebelum sempat bertanya ia sudah memberikan jawabannya. Karena masih mengganjal aku kembali bertanya, “Tapi kalau mimpi ini terus berlanjut hingga nanti malam dan besok-besoknya lagi, apa yang harus aku lakukan?” tanyaku panik. “Hmm, kita lihat nanti, mungkin memang ada yang tidak beres jika masih terulang hingga puluhan kali, OK kan, Hanum yang cantik?”. Aku diam, tak menjawab.
Malam ini
aku tidak bisa tidur, masih kepikiran. Bagaimanapun ini sangat aneh dan
mengganggu. Jadi wajar jika aku masih belum bisa mengabaikan begitu saja
seperti saran Atika. Aku pernah mendengar cerita tentang orang yang bermimpi
sama sebanyak tiga kali berturut-turut, tapi tidak sampai ke detilnya sama, dan
itu hanya tiga kali. Bagaimana kalau mimpi misterius ini masih berlanjut hingga
nanti malam dan besok malamnya lagi?
Sambil bertanya-tanya sendiri akhirnya tertidur juga.
…….
“Kalau memang kau pilihkan aku, tunggu sampai aku datang, nanti kubawa kau pergi ke syurga abadi, kini belomlah saatnya aku membalas cintamu, nantikanku di…”
“Hallo, assalamu’alaykum”, kuputus nada dering edcoustic favoritku dengan mengangkat telpon tanpa memperhatikan dari siapa.
“Wa’alaykumussalam warohmatullah, shalihah? Jawab seseorang di seberang sana.
“Ummiiiiiii…” kantukku hilang seketika mendengar suara ummi yang lembut itu.
“Apa kabar gadis ummi yang cantik? Hanum dah tahajjud belum nih?”
“Ah, Ummi, baru jam berapa sih nih” sambil menatap dinding yang digantungi jam, “Ho, iya, jam tiga, makasih ummi udah bangunin Hanum, tapi ngomong-ngomong kok tumben ummi nelpon pagi-pagi sekali?” Sambil duduk menyandar ke dinding, batinku mengatakan ada hal yang serius jika ummi nelpon di luar jam biasa.
“Bangun tidur tadi langsung kepikiran Hanum, Hanum kapan pulang? bentar lagi liburan semester, kan?” Aku tersenyum mendengar pertanyaan penuh cinta ini, Ummi memang hanya punya aku dan kakak, memiliki dua anak dan sudah ditinggal suami memang membuat ummi mudah sekali rindu anak-anak jika berada jauh lama dari rumah.
“Hehe, Ummi kangen Hanum yaa? Tanyaku sambil tertawa menggoda. “Insya Allah dua minggu lagi Hanum pulang, masih nunggu beberapa mata kuliah yang nilainya belom keluar nih, Mi, tapi tiket udah Hanum pesen kok, sengaja nggak kasih tau Ummi duluan, biar surprise gitu”.
“Ah, gadis ummi yang satu ini kebiasaan deh kalau mau pulang suka nggak kasih kabar, ya udah, Ummi sama kakak tunggu kepulanganmu ya, Nak. jaga kesehatan.”
~~~
Pintu tidak terkunci. Aku masuk dan mencari ummi ke dapur, “ini pasti lagi masak deh, wangi sekali, datang dari perantauan disambut makanan enak kan asik”, mulai bicara sendiri.
“Assalamu’alaykum, Ummi dan kakak tercinta, dipanggil-panggil nggak ada yang nyahut”, dengan wajah yang dibuat-buat merengut aku comot kentang goreng panas yang baru saja diangkat.
Setelah menoleh ke belakang dan menemukan wajahku tiba-tiba, mereka peluk aku sekuat-kuatnya, seperti baru menemukan boneka kesayangan yang hilang bertahun-tahun.
Dan akhirnya kakak cerita juga kalau permintaan kepulanganku kali ini dilatarbelakangi oleh rencana pernikahan kakak yang akan diselenggarakan bulan depan. Benar-benar keterlaluan, batinku, adik satu-satunya tapi baru diberitahu mau nikah H-1 bulan. Tapi ya sudahlah, turut berbahagia saja, meskipun rasa-rasanya aku yang lebih ngebet nikah tapi kok malah keduluan.
Sore itu aku shalat ashar di masjid depan rumah, rindu sekali dengan masjid ini, tempatku biasa bermain gundu waktu kecil. Sekarang sudah semakin besar dan cantik saja bangunannya.
Seusai shalat aku keluar dari pintu khusus wanita dan berjalan menuju rumah melewati teras masjid yang cukup luas, ada banyak bocah kecil sedang bermain gundu, agaknya permainan gundu masih menjadi trend di daerah kelahiranku ini.
Saat berjalan sambil memain-mainkan ujung mukena, tanpa sengaja aku melihat seorang lelaki yang di depan, meski agak jauh karena keluar dari pintu yang berbeda, tapi aku cukup jelas melihat langkahnya, dia berjalan melambat dan mengusap kepala seorang anak laki-laki yang berdiri melempar gundu. Mungkin karena merasa diperhatikan, ia menoleh ke belakang, ke arahku.
Dan ya Tuhan, wajahnya, wajah itu aku kenal, dia yang menemani tidurku selama tiga hari berturut-turut dua minggu lalu. Aku kaget terdiam lalu menundukkan kepala, sambil di hati bertanya-tanya, ada apakah sebenarnya, teka-teki hidup seperti apakah yang sedang aku jalani ini. Bagaimana bisa seorang yang ada di mimpi ternyata benar-banar hadir di kehidupan nyata?
Aku pulang tergesa-gesa dan menarik Ummi keluar rumah, sambil menunjuk ke arah pemuda tadi yang masih belum jauh dari masjid.
“Ummi tahu pemuda itu siapa?” tanyaku sangat sangat sangat penasaran, berharap ummi tahu dan segera memberitahu.
“Aduh, dia itu Muzan. Ummi belum cerita, dia sabtu kemaren meminang kakakmu, dan kakak sudah setuju. Ya itu, calonnya. Dan itu rumahnya”, sambil menunjuk ke arah rumah besar mewah yang rasanya tidak pernah dihuni sejak aku kecil.
Aku kaget mendengar jawaban ummi, “Akan menikah dengan kakak, berarti bukan jodohku?”, aku menangis dalam hati, padahal tadi aku mengira akan berbeda ceritanya. “Ah, aku berpikir terlalu jauh, mana mungkin menikah dengan seseorang hanya karena pernah memimpikannya, dangkal sekali!” Hatiku berbicara sendiri.
“Kakak kenapa nggak pernah bilang akan menikah dengan pemuda itu?” Pertanyaan ini langsung terlontar begitu saja saat aku temukan kakak di dalam kamar sedang membaca mushafnya.
“Pemuda? Muzan maksudmu? Memang ada apa dengannya? Kamu kenal di mana?”, pertanyaan kakak bertubi-tubi, ada mata menyelidik yang kutemukan dari sorotnya, tentu saja kakak heran.
Aku tergugup.
“Eh, itu, aku tadi ketemu laki-laki yang belum pernah aku lihat sebelumnya keluar dari masjid, aku tanya ummi, hmm, ternyata calon kakak ya? Kok nggak cerita? Hanum adikmu nggak sih?!” Aku sengaja pura-pura marah seperti ini supaya kakak melupakan kecurigaannya. Mudah-mudahan tidak diungkit lagi.
“Yaaa, memang cuman kamu yang suka bikin kejutan, kakak kan juga bisa, ya nggak, Mi?” sambil melirik ke ummi yang berdiri di pintu kamar. Ummi hanya tersenyum dan berlalu pergi.
“Oh, jadi gitu sekarang, mulai main bales-balesan? Nggak asik!” jawabku singkat, kemudian beranjak ke kamar dan tak menghiraukan suara kakak yang memanggil-manggil kesal.
Jujur saja, persoalan pemuda ini memang belum aku selesaikan sampai di sini, aku terima jika ternyata dia adalah calon kakakku sendiri yang akan menikahinya satu bulan lagi. Tapi bagaimana dengan mimpiku? Harapanku akan menikah segera? Atau, apa aku terlalu egois dan kekanak-kanakkan? Tapi pemuda itu entah kenapa sudah memasuki ruang hatiku dengan lancang bahkan sebelum aku bertemu dengannya sore ini. Ah, hatiku, kenapa kamu bodoh sekali mencintai seseorang yang hanya muncul tiga kali di mimpi?
Sambil bertanya-tanya sendiri akhirnya tertidur juga.
…….
“Kalau memang kau pilihkan aku, tunggu sampai aku datang, nanti kubawa kau pergi ke syurga abadi, kini belomlah saatnya aku membalas cintamu, nantikanku di…”
“Hallo, assalamu’alaykum”, kuputus nada dering edcoustic favoritku dengan mengangkat telpon tanpa memperhatikan dari siapa.
“Wa’alaykumussalam warohmatullah, shalihah? Jawab seseorang di seberang sana.
“Ummiiiiiii…” kantukku hilang seketika mendengar suara ummi yang lembut itu.
“Apa kabar gadis ummi yang cantik? Hanum dah tahajjud belum nih?”
“Ah, Ummi, baru jam berapa sih nih” sambil menatap dinding yang digantungi jam, “Ho, iya, jam tiga, makasih ummi udah bangunin Hanum, tapi ngomong-ngomong kok tumben ummi nelpon pagi-pagi sekali?” Sambil duduk menyandar ke dinding, batinku mengatakan ada hal yang serius jika ummi nelpon di luar jam biasa.
“Bangun tidur tadi langsung kepikiran Hanum, Hanum kapan pulang? bentar lagi liburan semester, kan?” Aku tersenyum mendengar pertanyaan penuh cinta ini, Ummi memang hanya punya aku dan kakak, memiliki dua anak dan sudah ditinggal suami memang membuat ummi mudah sekali rindu anak-anak jika berada jauh lama dari rumah.
“Hehe, Ummi kangen Hanum yaa? Tanyaku sambil tertawa menggoda. “Insya Allah dua minggu lagi Hanum pulang, masih nunggu beberapa mata kuliah yang nilainya belom keluar nih, Mi, tapi tiket udah Hanum pesen kok, sengaja nggak kasih tau Ummi duluan, biar surprise gitu”.
“Ah, gadis ummi yang satu ini kebiasaan deh kalau mau pulang suka nggak kasih kabar, ya udah, Ummi sama kakak tunggu kepulanganmu ya, Nak. jaga kesehatan.”
~~~
Pintu tidak terkunci. Aku masuk dan mencari ummi ke dapur, “ini pasti lagi masak deh, wangi sekali, datang dari perantauan disambut makanan enak kan asik”, mulai bicara sendiri.
“Assalamu’alaykum, Ummi dan kakak tercinta, dipanggil-panggil nggak ada yang nyahut”, dengan wajah yang dibuat-buat merengut aku comot kentang goreng panas yang baru saja diangkat.
Setelah menoleh ke belakang dan menemukan wajahku tiba-tiba, mereka peluk aku sekuat-kuatnya, seperti baru menemukan boneka kesayangan yang hilang bertahun-tahun.
Dan akhirnya kakak cerita juga kalau permintaan kepulanganku kali ini dilatarbelakangi oleh rencana pernikahan kakak yang akan diselenggarakan bulan depan. Benar-benar keterlaluan, batinku, adik satu-satunya tapi baru diberitahu mau nikah H-1 bulan. Tapi ya sudahlah, turut berbahagia saja, meskipun rasa-rasanya aku yang lebih ngebet nikah tapi kok malah keduluan.
Sore itu aku shalat ashar di masjid depan rumah, rindu sekali dengan masjid ini, tempatku biasa bermain gundu waktu kecil. Sekarang sudah semakin besar dan cantik saja bangunannya.
Seusai shalat aku keluar dari pintu khusus wanita dan berjalan menuju rumah melewati teras masjid yang cukup luas, ada banyak bocah kecil sedang bermain gundu, agaknya permainan gundu masih menjadi trend di daerah kelahiranku ini.
Saat berjalan sambil memain-mainkan ujung mukena, tanpa sengaja aku melihat seorang lelaki yang di depan, meski agak jauh karena keluar dari pintu yang berbeda, tapi aku cukup jelas melihat langkahnya, dia berjalan melambat dan mengusap kepala seorang anak laki-laki yang berdiri melempar gundu. Mungkin karena merasa diperhatikan, ia menoleh ke belakang, ke arahku.
Dan ya Tuhan, wajahnya, wajah itu aku kenal, dia yang menemani tidurku selama tiga hari berturut-turut dua minggu lalu. Aku kaget terdiam lalu menundukkan kepala, sambil di hati bertanya-tanya, ada apakah sebenarnya, teka-teki hidup seperti apakah yang sedang aku jalani ini. Bagaimana bisa seorang yang ada di mimpi ternyata benar-banar hadir di kehidupan nyata?
Aku pulang tergesa-gesa dan menarik Ummi keluar rumah, sambil menunjuk ke arah pemuda tadi yang masih belum jauh dari masjid.
“Ummi tahu pemuda itu siapa?” tanyaku sangat sangat sangat penasaran, berharap ummi tahu dan segera memberitahu.
“Aduh, dia itu Muzan. Ummi belum cerita, dia sabtu kemaren meminang kakakmu, dan kakak sudah setuju. Ya itu, calonnya. Dan itu rumahnya”, sambil menunjuk ke arah rumah besar mewah yang rasanya tidak pernah dihuni sejak aku kecil.
Aku kaget mendengar jawaban ummi, “Akan menikah dengan kakak, berarti bukan jodohku?”, aku menangis dalam hati, padahal tadi aku mengira akan berbeda ceritanya. “Ah, aku berpikir terlalu jauh, mana mungkin menikah dengan seseorang hanya karena pernah memimpikannya, dangkal sekali!” Hatiku berbicara sendiri.
“Kakak kenapa nggak pernah bilang akan menikah dengan pemuda itu?” Pertanyaan ini langsung terlontar begitu saja saat aku temukan kakak di dalam kamar sedang membaca mushafnya.
“Pemuda? Muzan maksudmu? Memang ada apa dengannya? Kamu kenal di mana?”, pertanyaan kakak bertubi-tubi, ada mata menyelidik yang kutemukan dari sorotnya, tentu saja kakak heran.
Aku tergugup.
“Eh, itu, aku tadi ketemu laki-laki yang belum pernah aku lihat sebelumnya keluar dari masjid, aku tanya ummi, hmm, ternyata calon kakak ya? Kok nggak cerita? Hanum adikmu nggak sih?!” Aku sengaja pura-pura marah seperti ini supaya kakak melupakan kecurigaannya. Mudah-mudahan tidak diungkit lagi.
“Yaaa, memang cuman kamu yang suka bikin kejutan, kakak kan juga bisa, ya nggak, Mi?” sambil melirik ke ummi yang berdiri di pintu kamar. Ummi hanya tersenyum dan berlalu pergi.
“Oh, jadi gitu sekarang, mulai main bales-balesan? Nggak asik!” jawabku singkat, kemudian beranjak ke kamar dan tak menghiraukan suara kakak yang memanggil-manggil kesal.
Jujur saja, persoalan pemuda ini memang belum aku selesaikan sampai di sini, aku terima jika ternyata dia adalah calon kakakku sendiri yang akan menikahinya satu bulan lagi. Tapi bagaimana dengan mimpiku? Harapanku akan menikah segera? Atau, apa aku terlalu egois dan kekanak-kanakkan? Tapi pemuda itu entah kenapa sudah memasuki ruang hatiku dengan lancang bahkan sebelum aku bertemu dengannya sore ini. Ah, hatiku, kenapa kamu bodoh sekali mencintai seseorang yang hanya muncul tiga kali di mimpi?
Kucoba untuk
ikhlas, selama satu bulan penuh aku berusaha melupakan perasaan bodohku, bahkan
saat pemuda itu datang ke rumah bersama keluarga kecilnya untuk membicarakan
urusan pernikahan, aku hanya mau disuruh keluar dari kamar sebentar untuk
mengantar minuman kemudian masuk lagi tergesa-gesa, tanpa menatap mereka satu
persatu dan berlaku sopan. Tentu saja ummi dan kakak heran, bertanya-tanya apa
yang terjadi padaku, aku juga yakin pemuda itu beserta keluarganya kebingungan.
Seharusnya aku duduk sebentar memperkenalkan diri, bagaimanapun aku adalah
calon keluarga mereka, dan hanya tiga orang di rumah ini, aneh sekali jika aku
bersikap seperti ini. Tapi aku benar-benar tidak punya nyali untuk sekedar
duduk apalagi berbincang. Aku malu dengan perasaanku sendiri, malu pernah
berharap dialah yang akan menjadi qowwamku, jawaban dari doa-doa malamku, dan
harapan saat aku pertama kali melihatnya mengusap kepala anak kecil itu.
Ya, hari ini adalah hari pernikahan itu, pernikahan yang mempelai laki-lakinya aku pikir akan menikah denganku.
Setelah mengurung diri di kamar dari pagi, aku putuskan untuk segera keluar menuju pesta dan menjamu tamu, karena Atika teman kecil sekaligus tetanggaku ini mendesakku keluar daritadi, dia kebingungan melihat tingkahku akhir-akhir ini. Ya memang, aku malu padanya sehingga tidak cerita dan dia tidak tahu apa-apa.
Aku salami kakak dan pemuda itu, Muzan. Kusembunyikan raut wajah anehku dalam-dalam, tersenyum selebar mungkin supaya semua orang percaya aku bahagia.
Tapi akhirnya kuputuskan untuk mengasingkan diri saja, kubawa kursi ke sudut paling tersudut di rumah besar ini, jauh dari keramaian. Bermenung untuk waktu yang cukup lama, bosan sendiri, lalu kutatapi satu persatu wajah para tamu untuk mengusir kekacauan hati.
Dan tiba-tiba,
deg!
Wajah itu…
“Muzan? Apakah itu Muzan?” aku bertanya dengan lantang, kali ini tidak bisa di hati saja, aku sungguh dikagetkan, tidak mungkin itu Muzan, dia kan di dalam, dan pakaian yang dikenakan beda.
Aku memperhatikannya lebih lekat, memastikan tidak salah lihat, tapi wajahnya memang sangat sama, tanpa sadar, aku berjalan ke arahnya, mendekat. Ia menatap ke arahku, sambil tersenyum, manis sekali.
Oh, tidak!
Aku terjatuh, tepat di hadapannya, betapa malunya aku. Sepatu hak tinggi ini, kenapa kakak harus memaksaku memakainya! Dan lihatlah, semua orang melihat ke arahku. Dan dia, pemuda berwajah Muzan ini, bahkan tidak membantuku berdiri. Ah, ya, bukan mahrom.
Kemudian dengan wajah memerah menanggung malu aku lepas sepatu usil ini dan berdiri lagi kemudian membungkuk sambil tersenyum ke orang-orang. Pura-puranya habis acting dan mendapatkan tepuk tangan plus sorakan meriah penonton, simulasi untuk menghibur diri sendiri.
Masyaa Allah, ini persis! Persis seperti di mimpiku, adegan jatuh dan laki-laki yang tersenyum tidak mau membantuku ini. Persis seperti di dalam mimpi. Aku ingat sekali, mimpi yang tiga kali berulang-ulang, adegan jatuh ini, tempatnya, bahkan wajahnya. Ya!
Ya, hari ini adalah hari pernikahan itu, pernikahan yang mempelai laki-lakinya aku pikir akan menikah denganku.
Setelah mengurung diri di kamar dari pagi, aku putuskan untuk segera keluar menuju pesta dan menjamu tamu, karena Atika teman kecil sekaligus tetanggaku ini mendesakku keluar daritadi, dia kebingungan melihat tingkahku akhir-akhir ini. Ya memang, aku malu padanya sehingga tidak cerita dan dia tidak tahu apa-apa.
Aku salami kakak dan pemuda itu, Muzan. Kusembunyikan raut wajah anehku dalam-dalam, tersenyum selebar mungkin supaya semua orang percaya aku bahagia.
Tapi akhirnya kuputuskan untuk mengasingkan diri saja, kubawa kursi ke sudut paling tersudut di rumah besar ini, jauh dari keramaian. Bermenung untuk waktu yang cukup lama, bosan sendiri, lalu kutatapi satu persatu wajah para tamu untuk mengusir kekacauan hati.
Dan tiba-tiba,
deg!
Wajah itu…
“Muzan? Apakah itu Muzan?” aku bertanya dengan lantang, kali ini tidak bisa di hati saja, aku sungguh dikagetkan, tidak mungkin itu Muzan, dia kan di dalam, dan pakaian yang dikenakan beda.
Aku memperhatikannya lebih lekat, memastikan tidak salah lihat, tapi wajahnya memang sangat sama, tanpa sadar, aku berjalan ke arahnya, mendekat. Ia menatap ke arahku, sambil tersenyum, manis sekali.
Oh, tidak!
Aku terjatuh, tepat di hadapannya, betapa malunya aku. Sepatu hak tinggi ini, kenapa kakak harus memaksaku memakainya! Dan lihatlah, semua orang melihat ke arahku. Dan dia, pemuda berwajah Muzan ini, bahkan tidak membantuku berdiri. Ah, ya, bukan mahrom.
Kemudian dengan wajah memerah menanggung malu aku lepas sepatu usil ini dan berdiri lagi kemudian membungkuk sambil tersenyum ke orang-orang. Pura-puranya habis acting dan mendapatkan tepuk tangan plus sorakan meriah penonton, simulasi untuk menghibur diri sendiri.
Masyaa Allah, ini persis! Persis seperti di mimpiku, adegan jatuh dan laki-laki yang tersenyum tidak mau membantuku ini. Persis seperti di dalam mimpi. Aku ingat sekali, mimpi yang tiga kali berulang-ulang, adegan jatuh ini, tempatnya, bahkan wajahnya. Ya!
“Kamu
siapa?” tanyaku memberanikan diri. Kulupakan malu akibat terjatuh tadi.
Ia menyusun kedua tangannya di dada dengan tersenyum sopan, “Mizan, aku kembarannya Muzan. kamu Hanum, adiknya Mutia, kan?”
“Ehm, iya, ehmm, aku Hanum, adiknya kak Mutia. Kamu… kamu kembarannya kak Muzan beneran?” jawabanku gugup sekali, dan pertanyaan macam apa itu, menanyakan apakah dia benar-benar kembaran kak Muzan, aku mengira dia berbohong?!
“Iya, kembarannya. Kita udah pernah ketemu sebelumnya, di rumahmu, waktu itu kamu cuma mengantarkan minuman ke ruang tamu lalu pergi, padahal aku saudara satu-satunya Muzan kan ingin kenal juga dengan saudara satu-satunya Mutia. Tapi aku pikir kamu ada urusan lain yang sangat penting sampai nggak sempat duduk dulu”, dia bicara halus dan sopan sekali, tidak berhenti tersenyum.
“Oh, iya, waktu itu, hmm, waktu itu lagi kurang enak badan”, jawabku sekenanya, tentu saja bohong, aduh, ampuni aku ya Allah.
“Gitu ya, ya udah gapapa”, masih sambil tersenyum.
“Aku ke dalam dulu ya, jangan malu-malu di sini, sudah rumah sendiri, kan?” aku berusaha membalas keramahannya, sambil berlari ke kamar.
Ia menyusun kedua tangannya di dada dengan tersenyum sopan, “Mizan, aku kembarannya Muzan. kamu Hanum, adiknya Mutia, kan?”
“Ehm, iya, ehmm, aku Hanum, adiknya kak Mutia. Kamu… kamu kembarannya kak Muzan beneran?” jawabanku gugup sekali, dan pertanyaan macam apa itu, menanyakan apakah dia benar-benar kembaran kak Muzan, aku mengira dia berbohong?!
“Iya, kembarannya. Kita udah pernah ketemu sebelumnya, di rumahmu, waktu itu kamu cuma mengantarkan minuman ke ruang tamu lalu pergi, padahal aku saudara satu-satunya Muzan kan ingin kenal juga dengan saudara satu-satunya Mutia. Tapi aku pikir kamu ada urusan lain yang sangat penting sampai nggak sempat duduk dulu”, dia bicara halus dan sopan sekali, tidak berhenti tersenyum.
“Oh, iya, waktu itu, hmm, waktu itu lagi kurang enak badan”, jawabku sekenanya, tentu saja bohong, aduh, ampuni aku ya Allah.
“Gitu ya, ya udah gapapa”, masih sambil tersenyum.
“Aku ke dalam dulu ya, jangan malu-malu di sini, sudah rumah sendiri, kan?” aku berusaha membalas keramahannya, sambil berlari ke kamar.
Seharian itu
aku gelisah sekaligus bingung. Makin rumit saja urusan yang satu ini, awalnya
Muzan yang membuatku bertanya-tanya, sekarang datang lagi yang satunya.
Harus segera kembali ke Bogor secepatnya, lama-lama di sini membuat aku gila. Kehidupan sepertinya sedang ingin mengajakku bercanda.
Harus segera kembali ke Bogor secepatnya, lama-lama di sini membuat aku gila. Kehidupan sepertinya sedang ingin mengajakku bercanda.
Benar saja,
seminggu setelah pernikahan kak Mutia, aku kembali ke Bogor meski Ummi dan
kakak keberatan, aku berdalih soal skripsi yang harus segera diselesaikan.
Urusan ini tampaknya membuatku gampang berbohong, ah!
…….
Satu tahun
kemudian.
Aku diwisuda.
Ummi, kak Mutia, Kak Muzan dan kembarannya itu, Mizan, hadir hari ini.
Kedua pemuda ini, kenapa muncul lagi? Satu tahun aku berusaha melupakan mereka berdua dan mimpi itu, sekarang harus bertemu lagi dan jadi canggung bersikap.
Esoknya, aku dibawa pulang, di atas pesawat di perjalanan pulang ke Padang, aku tiba-tiba diberi kabar tak terduga, kabar tentang pernikahan Mizan dan Atika.
“Hah, Atika, temenku?” tanyaku setengah berteriak kaget setengah hidup.
“Ya, Atika, temenmu, memang kenapa?” Ummi bertanya sambil mendekatkan kepalanya ke arahku.
“Tapi mereka kenal di mana?” Aku berusaha menurunkan tekanan suaraku supaya Mizan yang duduk agak jauh dari kursiku tidak mendengar.
“Lho, kamu nggak tau, Mizan dan Atika kan saudara jauh, mereka dijodohkan sejak kecil oleh orangtua masing-masing” Jelas Ummi lembut. Sepertinya juga agar Mizan tidak dengar.
Aku diwisuda.
Ummi, kak Mutia, Kak Muzan dan kembarannya itu, Mizan, hadir hari ini.
Kedua pemuda ini, kenapa muncul lagi? Satu tahun aku berusaha melupakan mereka berdua dan mimpi itu, sekarang harus bertemu lagi dan jadi canggung bersikap.
Esoknya, aku dibawa pulang, di atas pesawat di perjalanan pulang ke Padang, aku tiba-tiba diberi kabar tak terduga, kabar tentang pernikahan Mizan dan Atika.
“Hah, Atika, temenku?” tanyaku setengah berteriak kaget setengah hidup.
“Ya, Atika, temenmu, memang kenapa?” Ummi bertanya sambil mendekatkan kepalanya ke arahku.
“Tapi mereka kenal di mana?” Aku berusaha menurunkan tekanan suaraku supaya Mizan yang duduk agak jauh dari kursiku tidak mendengar.
“Lho, kamu nggak tau, Mizan dan Atika kan saudara jauh, mereka dijodohkan sejak kecil oleh orangtua masing-masing” Jelas Ummi lembut. Sepertinya juga agar Mizan tidak dengar.
Aku membuang
muka, tidak berkomentar apa-apa, ke arah jendela, menatap hujan yang rintiknya
tak terdengar dari dalam pesawat ini. Seperti hatiku yang menangis diam, tak
terdengar oleh siapapun, termasuk Atika.
Komentar
komen: keyeeeenn, tapi jangan jadi yang terakhir yoo...
Kondak amy carian haaa..
haha!
yehehe, terakhir sampai saat ini maksudnyo. mambuek cerpen tu paniang kapalo amy dek nyo ka.
Posting Komentar