“Poetry Hujan: Hujan di Kelopak Matamu, Ibu..."
Ibu,
Kau yang selalu mengajarkan aku tentang ketegaran saat melawan Bapak
Kau yang selalu mengajarkan aku tentang ketegaran saat melawan Bapak
Tapi hari itu, kau memperlihatkan mendung yang tertahankan di kelopak matamu padaku,
Ia telah berubah menjadi gerimis, lalu hujan deras
Ia telah berubah menjadi gerimis, lalu hujan deras
Aku mengusapnya perlahan, dalam remang kamar
Tirus wajahmu, Ibu
Membuatku selalu tak tega melihat kau meronta
Hujan yang kau biarkan menetes di garis pipimu itu tak lebih dari sebuah sketsa
Yang memperlihatkan bahwa lukisan hidup kita tak beranjak dari warna hitam
Selalu hitam!
Tak pernah ada warna lain yang menelusup
Padahal aku inginkan hijau atau mungkin biru
Padahal aku inginkan hijau atau mungkin biru
Tapi Kenapa hidup tak membiarkan hitam berubah bentuk di lukisan kita, Bu?
Apakah karena kita tak layak mendapatkannya?
Atau karena warna lain yang tak ingin singgah, meski hanya sekejab?
Rumput di halaman rumah kitapun tak pernah mau berlama-lama menetap
Sehari, dua hari, lalu mereka layu tak menentu
Aku selalu bingung melihatnya
Apakah rumputpun tak betah?
Seperti yang aku dan Ibu rasa?
Apakah memang seperti itu, Bu?
Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang?
Hanya hujan yang terlihat di matamu, tak ada kebahagiaan
Sesekali berawan, tapi tak lama
Cerahlah seperti matahari menyusup ke kamar pengap kita, Bu
Indahlah seperti susunan warna pelangi di langit yang kita lihat di belakang rumah waktu itu
Jangan hujan, ku mohon jangan hujan!
Cerahlah seperti matahari menyusup ke kamar pengap kita, Bu
Indahlah seperti susunan warna pelangi di langit yang kita lihat di belakang rumah waktu itu
Jangan hujan, ku mohon jangan hujan!
Aku rindu melihat kau tersenyum lepas, benar-benar lepas
Bukan senyuman yang senantiasa kau paksakan untuk membuatku lega
Bukan senyuman yang kau buat-buat untuk membuatku bahagia
Bukan pula senyuman yang kau rekayasa hanya untuk mengisyaratkan bahwa Ibu baik-baik saja!
Aku takkan pernah tertipu, Bu
karena aku pun selalu melakukkannya padamu
Aku tak pernah tertipu karena aku bisa membaca setiap kata yang ingin disampaikan matamu, mata lelahmu...
Doa-doa yang terpanjatkan di sepertiga malam,
Belum pernah kita lihat pengabulannya hingga sekarang
Padahal kitapun selalu hujan kala bercakap dengan Tuhan
Padahal kitapun selalu hujan kala bercakap dengan Tuhan
Apakah mungkin kebahagiaan yang tak kita dapatkan itu merupakan wujud kekesalan Tuhan?
Benar begitu, Bu?
Aku bertanya padamu karena Ibu yang mengajarkan aku semua hal
Termasuk cara menyembunyikan air mata di hadapan orang yang kita cinta
Kini hanya itu yang aku bisa
Ah, Ibu
Biarkan aku mati saja...
Puisi ini diikutsertakan pada Kuis “Poetry Hujan” yang diselenggarakan oleh Bang Aswi dan Puteri Amirillis
Komentar
kata2 itu membuat ku terhipnotis...
ah, tidak sehebat itu kok ^__^
*ibu tak seberapa balasan ku padamu...
Posting Komentar