Postingan

Menampilkan postingan dari November, 2014

Abaikan Saja

Aku sering berpikir, bagaimana rasanya menjadi benda lain. Bagaimana rasanya menjadi langit luas yang harus berubah perasaan setiap saat, bahkan seperti dua wajah, hitam lalu putih. Bagaimana rasanya menjadi embun di pagi hari, yang harus patuh untuk luruh dilalap cahaya matahari, bahkan tak sempat berkenalan dengan siang. Bagaimana rasanya menjadi laut, bergelombang lalu kembali lagi, menyimpan milyaran benda bergerak di kedalaman, bahkan tak boleh berteman dengan daratan. Bagaimana rasanya menjadi burung, terbang pagi pulang petang, menemui sarang yang anak-anaknya mungkin telah dicuri binatang garang, bahkan tak bisa mampir di daratan dalam waktu yang panjang. Bagaimana dan bagaimana. Lalu kulihat cermin yang memantulkan sketsa wajah. Bahkan aku sempat berpikir, apakah benar wajah yang ada di cermin adalah wajah yang sesungguhnya? Bagaimana jika cermin-cermin di dunia bekerjasama untuk membuat tipuan. Bagaimana jika sebenarnya, wajah kita lebih cantik atau lebih buruk d

Bergegaslah Menuju Tuhanmu..

Aku tak pintar matematika, Tuhan. Tak bisa kuhitung apa yang Kau berikan. Aku juga tak pandai sejarah, tak sanggup kukaji ulang sejauh mana perjalanan yang Kau reka. Oh, tidak! Bahkan jika aku pintar matematika, seperti kataMu, meski seluruh pohon dijadikan pena, dan lautan adalah tintanya, lalu ditambahkan dengan yang serupa jumlahnya, masih belum cukup untuk menghitungnya. Biarpun aku ahli sejarah, takkan bisa kutuliskan satu persatu dari keseluruhan kisah yang Kau ciptakan di bukuku. Dosa, lupa, dan sengaja, berwarna-warni dalam lukisan kedurhakaanku. Mengikir kaburkan iman, Tapi tetap saja, tidak pernah absen nikmat untukku. Tiada kuragui, Tuhan. Bahwa Engkau dan kehambaanku bagai kutub yang terkadang menjauh kadang mendekat. Terkadang tolak dan ulur, kadang pasang lalu surut. Maka bagaimanalah caranya aku mampu memujiMu? Sedang tidak ada kata yang wujud mewakilinya. Dan ya, pujian untukMu adalah sebagaimana Engkau memuji diriMu sendiri. Sedang aku adalah hamba, berdir

Kala Halal Adalah Namaku

Bagai cahaya seribu bulan, berkerlap-kerlip di hatiku. Menembus batas toleransi, bahwa kau terlalu terang, bahkan menyilaukan. Ada sekat bertabur kawat yang tak berani kusentuh, meski saat jaraknya seujung kuku. Dan aku termangu menyaksikan betapa tinggi menjulang apa yang ada padamu, bahkan dongakan leher terjauhku tak sanggup menangkap puncakmu. Wahai engkau dengan sejuta pesona, yang senyumnya dirindui bidadari sorga, aku bukanlah wanita gila yang menyebut namamu tak terhingga dalam igauanku. Aku juga bukanlah wanita hina yang sampai hati menggoda iman dan kesucianmu. Aku hanyalah aku yang berharap bahwa doa berulang adalah seperti kayuhan sepeda yang meskipun lama, ia akan mengantarkanku suatu hari ke stasiunmu. Maka berilah aku waktu untuk menaklukkan cahaya seribu bulan itu, beri aku masa untuk mencabut satu persatu sekat pembatas antara kau dan aku. Hingga suatu hari, kumiliki kesempatan untuk terjun bebas ke kedalaman senyumanmu, kala namaku adalah halal, bagimu.

Pecah Memecah Pecahan

Ini semacam bongkahan memuakkan yang pecah berkeping berserakan di tiap milimeter hatiku dan tetiba datang siraman air panas kebencian Mengguyur melepuhkan hingga tiada Lalu aku pun luruh dalam pana Gayung-gayung yang tadi pagi kugunakan untuk mandi, kini berisi air asin dari mataku Menggenang hingga besok malam. Dan masih bertambah hingga melimpah. Hei, lihat. Gayungnya pecah.

Lihatlah Betapa Hebatnya Aku

Mega, langit, dan matahari Turunlah menyapa dataran busuk di bawah kakiku Kalau bukan karena gravitasi, telah kususul lebih tinggi dari pencapaianmu... Rumput, air, dan tanah Menyingkirlah dari jalan lapangku Aku akan menari bersama sulit, susah, dan payah Diiringi musik bayu beraroma darah Dengan nada terendah pemanggil gerah.. Ayolah! Ceritakan padaku betapa hebatnya diriku menarikan tembang kesedihan ini Lihatlah gores di kaki Dan sayat di lengan kanan dan kiri Tidakkan akan kau puji? Bahwa akulah pemeran terbaik dalam permainan bernama "Bunuh Diri Sendiri"?

Ibuuu...

Jika November dan hujan bagai hitam dan malam, atau seperti pohon dan hutan. Maka aku di sini menunggu gelombang menyelesaikan tamparan. Menunggu badai menghabiskan kencang. Ibu, jika November dan hujan adalah satu, bolehkah aku merindumu yang ada dalam diriku? Bila cinta dan hangatmu masih menyisakan jejak-jejak kisah di sekujur tubuhku, bolehkah aku berteriak memanggil kebahagiaan yang dibawa jarak rumah dan aku? Aku menghitam dibakar matahari, Bu. Menunggu kereta yang membawa datang peti mati pengubur haru. Menunggu kereta yang membawa pulang jasad pucatku menujumu. Bila sakit dan rintih adalah padu. Maka reda hanyalah namamu...