Aku yang Menyesal atau Kamu?

Desember itu, kau akan datang menemuiku, "pertemuan terakhir sebagai tanda perpisahan sebelum hubungan berakhir", katamu di pesan semalam.
Dan ya, sekarang aku menunggu di sini, di kursi nyaman sebuah taman.

Daun gugur yang jatuh ke atas pangkuanku ini adalah daun ke seratus mungkin, pertanda bahwa aku sudah terlalu lama menunggu.

Kau tahu, arlojiku memang arloji lama, arloji kuno lima tahun lalu, tapi waktu yang ditunjukkannya selalu tepat, dan ini sudah dua jam.

Maka lihatlah, hujan turun begitu deras sederas rintih di hatiku yang letih. Baju basah ini ku harap tak segera kering hingga kau datang, aku ingin kau melihat, sungguh aku tersiksa!

Oh, Tuhan. Lelaki ini berhasil membuatku geram. Aku telah menambah satu jam lagi dan dia belum juga datang?!
Sudah! Kesabaranku habis. Aku pulang. Dan jangan berharap akan ada pertemuan susulan, atau penerimaan maaf penyesalan.

Ada yang patah rasanya di hati ini, patahan yang lebih keras daripada sekedar pensil patah yang dipatahkan sepatah-patahnya.

Aku menyesal telah mencintaimu, lelaki yang dua tahun lalu menyodorkan sobekan majalah lusuh sebagai alas duduk untukku yang duduk di sebuah meja lipat ruang fakultas kampus siang itu bukan lagi lelaki menyenangkan, tapi menyebalkan!

"Kenangan yang sempat ku anggap indah itu belumlah cukup untuk membuatku memaafkanmu, Mas!"

Di tengah kekesalan memuncak itu telpon genggam yang aku taruh di atas lemari coklat berdering.
Bagus! Menelpon untuk meminta maafkah?
Bukan, ini dari seseorang yang lain, temanku, mengabarkan bahwa kamu kecelakaan. Keadaanmu parah, kakimu patah, kepalamu nyaris pecah, bukan hanya sekedar berdarah-darah.

Tidak mungkin terjadi!

Tatapanku seperti melihat layar kosong, kemudian mulai mengabur, dan gelap.

Komentar

winny! mengatakan…
jempol!

Postingan populer dari blog ini

Halaman Persembahanku

Berhentilah Menggangguku Hei, Kau yang di Sana!