Aku Membunuh Diriku Sendiri dengan Al-Qur'an (Kisah Hijrah)

Izinkan aku bercerita, sedikit saja tentang penggalan hidup yang pernah kulewati, karena kau adalah sahabat, maka cerita ini akan kubagi.

Aku adalah seorang perempuan, kau tahu itu?
Mungkin pernyataanku terdengar absurd, tapi aku memiliki maksud, agar kau yakin bahwa aku memanglah perempuan, bukan laki-laki, atau campuran dari keduanya.

Ini adalah pernyataan yang kau dengar sekarang, bukan belasan tahun yang silam, di saat aku masih ingusan, berpikiran dangkal, namun keras tak terkatakan.

Aku dilahirkan dari rahim seorang Ibu pada tanggal 12 Februari, 18 tahun yang silam, sebagai seorang perempuan, biar kuyakinkan sekali lagi, sebagai seorang perempuan!
Tapi ketika mulai mampu berpikir dan menentukan pilihan, aku memilih untuk menjadi laki-laki, jangan kaget.
Aku membenci kelahiranku yang menjadikanku perempuan, karena aku ingin menjadi laki-laki, seutuhnya, tidak setengah-setengah..

Untuk mewujudkan inginku, selalu kukenakan pakaian laki-laki, jeans robek dan kaos oblong, rambut pun pendek seperti rambut laki-laki,  kuharap kau tak membayangkannya, karena aku sungguh berbeda.
Tidak hanya penampilan, juga karakter dan tingkah laku, tanpa sengaja atau berpura-pura, aku sungguh telah menjelma menjadi seperti ayah, satu-satunya laki-laki di rumah, di mana kuingin jadi lelaki kedua.

Saat usia memaksaku beranjak ke bangku SLTP, tak ada perbaikan, justru semakin parah.

Kau tahu, kawan?
Di hari kedua di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama itu aku membuat keonaran besar, membuat malu Ibu yang kebetulan mengajar di sekolah yang sama.

Kejadian itu berlangsung singkat, namun menimbulkan pengaruh besar bagi kehidupan seseorang, seseorang yang kali ini akan kuceritakan, dia laki-laki, lupa sebab pertengkaran kami saat itu, yang jelas, aku beradu mulut dengannya, mungkin dia kesal lantas melontarkan satu kalimat yang menjadi awal kegaduhan,
Ia mengatakan bahwa aku perempuan berkelamin ganda, kutahu ia memiliki alasan untuk menjulukiku seperti itu, tapi aku merasa tersinggung, tanpa diduga kukepalkan tangan dan mengarahkan ke mata sebelah kanan miliknya, hingga berdarah.

Kaget memang, tapi aku pura-pura biasa, seolah tidak melakukan sesuatu yang fatal.
Tentu saja teman-teman yang lain shock dan mengadukannya ke wali kelas, lalu dengan sedikit hardikan aku dipaksa ke kantor, menghadap kepala sekolah, juga ibuku, bisa kau bayangkan betapa sulitnya posisiku saat itu?

Di atas, aku mengatakan bahwa apa yang kulakukan menimbulkan pengaruh besar bagi kehidupan seseorang, ya...dia adalah laki-laki itu, yang berdarah matanya karna pukulanku, dan semenjak hari itu tak pernah datang lagi ke sekolah, pun ke sekolah lain, tak ada penyesalan yang timbul, sedikitpun! tak tahu apakah karna hatiku yang terlanjur membatu...

Baru kini kusadari bahwa masa depannya telah terenggut olehku, oleh pukulanku, oleh pertengkaran kecil yang aku besar-besarkan, oleh ketidakdewasaan, dan keburukan akhlakku.

Waktu terus bergulir, meninggalkan jejak hidup yang kubuat setapak demi setapak, tak terpikirkan lagi tentang dia, bagaimana dia menjalani hidup dengan matanya yang mungkin telah cacat olehku, dengan ketertinggalannya karna tak sekolah lagi.
oh, betapa hancurnya akhlakku...

Aku bingung, kawan, bagaimana menceritakannya lebih dalam padamu..
tapi akan kulanjutkan..

SLTP kelas dua, laki-laki bertubuh perempuan ini berencana untuk melakukan sesuatu lagi, dan benar-benar melakukannya.
Sebuah Tower yang menjulang tinggi berdiri kokoh tepat di depan rumah, tower indosat dengan tinggi 70 meter itu menggodaku untuk memanjatnya.
Aku memang berani, aku nekat, tak peduli, itulah kenapa aku benar-benar memanjatnya, sampai puncak.
Lagi-lagi Ibu menjadi saksi, ia menangis di bawah, memintaku untuk turun, seburuk apapun diriku, kutahu beliau tak ingin kehilangan anaknya.

 
Kisah di atas memang tidak terlalu penting, tapi aku tetap menceritakannya, karena entah kenapa rekaman cerita ini senantiasa berputar-putar di alam pikirku, kadang tertawa mengingatnya, namun terkadang menangis karena sungguh, aku maluu...

Ada banyak cerita lainnya yang pernah kutulis di buku hidupku di masa lalu, tapi aku tidak mungkin menceritakan semuanya padamu, karena kertas ini tak cukup banyak untuk menampungnya, sementara waktuku pun terbatas untuk menceritakan fragmen memalukan ini satu persatu.
mengingatnya, membuatku senantiasa menangis, jadi jangan paksa aku untuk bercerita.

Hmm...mungkin ada satu lagi yang bisa kuceritakan, satu lagi saja...
singkatnya, aku pernah beberapa kali masuk rumah sakit dan dirawat di sana, bukan karena sakit seperti maag, bronkitis, apalagi kanker, tapi karena kecelakaan, karena balapan.



Tidak akan kuperpanjang cerita pada bagian ini. Intinya, aku dulu suka balapan, dengan orang tak dikenal, dengan orang yang kutemui di jalanan lalu mengajaknya berpacu dengan kecepatan.
Yaaah, seperti itulah kira-kira, kau tentu bisa bayangkan, betapa hancurnya kehidupanku saat itu.

CUKUP!
Aku sungguh tidak ingin berlama-lama menceritakan kisah hidupku di bagian ini (sebelum Ramadhan 1429) karena sesungguhnya aku tidak suka menceritakan tentang aibku sendiri, aku lebih suka bercerita tentang kehidupanku saat ini.

Baiklah, bismillahirrohmanirrohhiim (menghela napas panjang...)

Ooooh, aku tidak tahu mau mulai dari mana...
Thoyyib, aku mulai...

Di suatu hari, 12 Ramadhan 1429, sekolah tempatku mengais ilmu mengadakan pesantren dadakan, kilat, selama tiga hari.
Kala itu, diundanglah seorang ustadz untuk berceramah di masjid tempat kami mengadakan acara.
Tidak ada yang special dengan ceramah beliau, karena memang aku tidak suka mendengarkan ceramah agama. Aku memutuskan untuk menghabiskan waktu dengan handphone, entah apalah yang aku lakukan saat itu, yang jelas aku tidak mendengarkan ceramah yang menurutku sama sekali tidak menarik.

Sejauh yang tidak sengaja tertangkap oleh pendengaranku, ustadz yang berdiri di atas mimbar ketika itu bercerita tentang Al-Qur’an, bukan mengulas Al-Qur’an, tapi tentang kisah-kisah penghafal Al-Qur’an, beliau bercerita tentang tokoh-tokoh luar biasa, ada yang sudah menghafal Al-Qur’an sejak berumur 5 th, bahkan kurang dari itu, tapi benar-benar membuatku bosan (Astaghfirullah)..

Singkat cerita, di akhir perjumpaan, ustadz tersebut meminta kami menunjuk tangan bagi yang telah membaca Al-Qur’an sampai juz 12 (aku bahkan tidak terlalu paham pengertian juz juz itu seperti apa), yang pasti aku tidak ikutan, jangankan sampai juz 12, menyentuh Al-Qur’an saja wallahu a’lam.

Ada dua orang yang menunjuk, satu laki-laki, satu perempuan. Untuk apresiasi, mereka diberi uang entah berapa jumlahnya di depan kami semua, aku tahu tujuannya hanya untuk memotivasi kami, bukan untuk memanas-manasi, yang pasti aku sendiri tidak merasa dipanas-panasi.
Untuk hari itu acara selesai, aku pulang ke rumah dan tidak ada yang berbeda, tidak sama sekali.

Sekitar pukul satu siang, di rumah, tidak ada siapa-siapa.

Aku duduk di sofa ruang tamu, melepas lelah...
Tidak sengaja aku melihat sebuah Al-Qur’an tergeletak di atas meja, tiba-tiba ada semacam dorongan yang datang entah dari mana untuk meraih Al-Qur’an itu dan membuka kemudian membacanya, jadi teringat pelajaran di MDA (semacam sekolah tambahan di sore hari untuk anak SD khusus mempelajari agama Islam) bahwa kalau mau membaca Al-Qur’an haruslah dalam keadaan tertutup aurat dan posisi duduk yang sopan.


Hmm...baiklah, untuk ke sekian kalinya terdapat dorongan yang memaksaku beranjak menuju kamar Ibu untuk mengambil sebuah jilbab dari lemarinya, kau pasti bisa menyimpulkan bahwa aku tidak punya jilbab, yup, tentu saja.

Cerita punya cerita aku memang membacanya, beberapa ayat. Padahal saat itu aku bahkan belum shalat zhuhur, lebih tepatnya tidak shalat zhuhur.

Beberapa hari berlalu...
Aku mendapatkan keinginan tiba-tiba untuk membaca Al-Qur’an setiap hari, sebanyak mungkin, karena sejujurnya, aku manusia yang tergolong kompetitif, tidak suka dikalahkan dalam hal apapun.
Aku berusaha untuk menamatkan membaca Al-Qur’an selama bulan Ramadhan kali itu, bagaimanapun caranya.

20 Ramadhan 1429, sepulang sekolah.

Siang itu, aku membaca Al-Qur’an lagi...
Aku menyesal tidak mengabadikan surah berapa dan ayat berapa yang aku baca, padahal ayat itulah yang menjadi awal titik balik kehidupanku.

Aku membaca seperti biasa, tentu saja dengan kemampuan membaca Al-Qur’anku yang sangat parah, tidak bagus sama sekali.
Beberapa lembar selesai ku baca, kerongkongan ini mulai kering dan minta berhenti. Saat hendak menutup Al-Qur’an tiba-tiba saja aku ingin membaca terjemahannya, padahal selama ini aku tidak pernah mempedulikan terjemahan, apalagi mentadabburi isinya dengan khidmat.
Aku baca satu persatu terjemahan ayatnya, tidak ada yang menarik perhatianku, namun tanpa diduga, pada satu ayat yang aku lupa..

AKU MENANGIS! Sejadi-jadinya...

Sungguh, aku tidak tahu apa yang membuat aku menangis sedemikian hebat, padahal aku telah lupa seberapa lama aku tidak menangis lagi, karena anak laki-laki itu tidak boleh cengeng.

Tapi entah kenapa, semakin aku mencoba berhenti, air mata ini semakin tidak terkendali dan  menjadi-jadi.
Lelah mencoba, lalu aku biarkan saja ia menuju titik jenuh perhentiannya.

Dalam fikirku saat itu terlintas ribuan kenangan tentang hidup yang aku jalani selama belasan tahun.
memori otakku memilihkan satu kenangan untuk diingat, saat masih berumur lima tahun, saat aku tumbuh menjadi sosok kecil yang nakal, terlalu nakal untuk anak perempuan seusiaku.
Aku memilih menjadi nakal karna ingin menjadi seorang laki-laki, bukan perempuan seperti takdir yang Allah pilihkan, bagiku menjadi seorang perempuan itu adalah kekangan, keterbatasan, keterkungkungan, ketidakbebasan, ketidakbahagiaan.
Perempuan hanya akan berakhir di dapur, sumur, dan kasur, tidak bebas melakukan apapun yang diinginkan karna terlahir sebagai insan yang lemah, tiada daya, dan terbatas.
Kebetulan, aku terlahir sebagai anak ketiga dari lima bersaudara yang semuanya perempuan, hanya ada seorang lelaki di rumah, yaitu Ayah. Ayah yang mendidikku lebih keras daripada yang lain, mungkin disebabkan karna kenakalanku yang berlebih, dan kekeraskepalaan yang sulit dikendalikan.
sosok Ayah yang keras dalam mendidik membuat aku beranggapan, “Kalau saja aku terlahir sebagai seorang laki-laki, tentu saja aku akan lebih disayang dan akan dibanggakan”.

~~~

Air mataku semakin membanjir, Kawan. Aku teringat dosa.
Aku teringat semua yang aku lakukan dalam hidup. Bagaimana aku menjalaninya, bagaimana aku menghabiskan umur, bagaimana aku telah gagal menjadi seorang perempuan, gagal menjadi baik, gagal menjadi kebanggaan, gagal menjadi layak, gagal menjadi seorang anak, dan tentu saja gagal menjadi muslimah.

Aku tidak mengerti kenapa Ayah tidak pernah marah tiap kali aku mengenakan celana jeans pendek yang robek di bagian lutut, Ayah juga tidak marah saat aku mengadu bahwa aku telah memukul mata seorang teman hingga berdarah, Ayah tidak marah saat aku manjat tower depan rumah, pun dengan Ibu. Tidak ada yang menegurku, justru terlihat setuju, membuat aku berpikir bahwa mungkin saja Ayah Ibu restu dan ingin ada seorang laki-laki lagi di rumah selain Ayah.
Pikiran yang dangkal memang.

~~~
Aku masih menangis, mulai menikmati setiap tetes yang mengalir ke pipiku, satu demi satu ku hitung, mungkin ini adalah air mata penyesalan, air mata tobat yang tidak harus aku hentikan.

Kau tahu kawan?
Setelah suaraku serak, setelah air mataku mengering, dan setelah pipiku lembab dialiri. Rasanya ada sesuatu yang berbeda, aku seperti dilahirkan kembali. Mungkin ceritaku terdengar dramatis, tapi tidak! memang itu yang aku rasakan, sungguh, aku serasa dilahirkan kembali, bukan dengan tubuh baru, tapi jiwa yang baru. Ada yang masuk ke dalam diriku saat air mataku mulai berhenti, sesuatu itu mengubah semuanya, tak terduga.

Aku mulai sering menyendiri setelah hari itu, menjadi lebih pendiam dari biasanya. Hingga orang-orang berpikiran bahwa aku sakit. Padahal tidak, aku tidak sakit, justru aku telah sembuh! Sembuh dari keterpurukan.

Hal yang pertama kali aku benahi adalah shalat, aku berusaha sekeras mungkin untuk tidak meninggalkannya, satupun!


Awalnya memang terasa sangat berat, tapi aku benar-benar ingin berubah.

Beruntunglah, Allah mengenalkanku pada seorang guru yang berjasa besar dalam proses hijrahku.
Beliaulah yang menuntunku untuk berjilbab, menuju perubahan yang sangat kontras namun perlahan.
Awalnya aku ragu dan malu, tapi Allah menguatkanku.
Aku memang butuh waktu cukup lama untuk konsisten dengan jilbab, namun akhirnya alhamdulillah tak ku lepas lagi, meski Ayah, Ibu, dan kedua kakakku terlihat mencekal.

Pernah suatu waktu, saat aku berjalan-jalan bersama keluarga untuk berbelanja, aku meminta Ayah membelikan sebuah jilbab yang lebar, Ayah sendiri terlihat tidak keberatan, tapi kakakku berkata dengan sedikit berbisik, “Kalau mau beli jilbab nggak usah yang gede, nanti takutnya pas dilepas lagi jadi jelek banget pandangan orang sama kamu, mending yang biasa-biasa sajalah”, aku tersenyum dan dengan tegas menjawab, “Kakak akan lihat kesungguhanku, aku tidak akan pernah melepas jilbab ini, sampai mati! Pegang janjiku.”

Segala puji bagi Allah, aku masih berjilbab hingga sekarang dan semoga selamanya.
Semua berawal dari Al-Qur’an, aku telah membunuh diriku sendiri, diriku yang lama dengan Al-Qur’an.


Banyak orang yang tidak percaya dengan perubahan ini, aku sendiri juga tidak percaya bisa berubah sedemikian jauh, tapi Allah Maha Kuasa, semua terlihat mudah bagiNYA, apa saja, termasuk membolak-balikkan hatiku, pun dengan hatimu...

Teruntuk semua teman yang senantiasa bertanya-tanya tentang proses hijrahku. Ini ceritaku, apa ceritamu?
:)



*semoga bermanfaat






Komentar

andra mengatakan…
wah, gambar ceritanya kok bermacam-macam, ada horikita maki segala... :D
Just A`- mengatakan…
hehe, cuman sebagai penjelas saja, pilih acak.
mudah2an pemilik gambar bersangkutan tidak keberatan.
Unknown mengatakan…
Sungguh besar nya kekuasaan allah memberikan hidayah sehingg anda bisa hijrah,saya pun sekarang dalam proses hijrah

Postingan populer dari blog ini

Halaman Persembahanku

Berhentilah Menggangguku Hei, Kau yang di Sana!